BUDAYA ORGANISASI
A. Teori
Budaya Organisasi
Terdapat
tiga asumsi yang mengarahkan pada teori budaya organisasi yaitu:
1)
Angota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki
bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih
baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Asumsi yang pertama berhubunan
dengan pentingya orang di dalam kehidupan organisasi. Secara khusus, individu
saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas. Individu-individu
ini mencakup karyawan, supervisor, dan atasan. Pada inti dari asumsi ini adalah
yang dimiliki oleh organisasi. Nilai adalah standar dan prinsip-prinsip dalam
sebuah buadanya yang memiliki nilai intrinsik dari sebuah budaya. Nilai
menunjukkan kepada anggota organisasi mengenai apa yang penting.
Orang
berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan. Menjadi anggot dari
sebuah organisasi membutuhkan partisipasi aktif dalam organisasi tersebut.
Makna dari simbol-simbol tertentu misalnya, mengapa sebuah perusahaan terus
melaksanakan wawancara terhadap calon karyawan ketika terdapat sebuah rencana
pemutusan hubungan kerja besarbesaran dikomunikasikan baik oleh karyawan maupun
oleh pihak manajemen. Makna simbolik dari menerima karyawan baru ketika yang
lainnya dipecat tidak akan dilewatkan oleh pekerja yang cerdik; mengapa
memberikan uang pada karyawan baru ketika yang lama kehilangan pekerjan mereka?
Karyawan memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya organisasi. Perilaku
mereka sangatlah penting dalam menciptakan dan pada akhirnya mempertahankan
realitas organisasi.
2) Penggunaan dan intepretasi simbol
sangat penting dalam budaya orgaisasi. Realitas organisasi juga sebagiannya
ditentukan oleh simbol-simbol, dan ini merupakan asumsi kedua dari teori ini.
Perspektif ini menggaris bawahi pengguanaan simbol di dalam organisasi. Simbol
merupakan representasi untuk makna. Angota-angota organisasi menciptakan,
menggunakan, dan mengintrepetasikan simbol setiap hari. Simbol-simbol ini
sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal
dan nonverbal di dalam organisasi. Seringkali, simbol-simbol ini mengkomunikasikan
nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna. Sejauh
mana simbol-simbol ini efektif bergantung tidak hanya pada media tetapi
bagaimana karyawan perusahaan mempraktikannya. Simbol Budaya Organisasi
Kategori Umum Simbol Fisik Simbol Perilaku Simbol Verbal Tipe / Contoh Spesifik
Seni, desain, logo, bangunan, dekorasi, pakaian, penampilan, benda material
Upacara, ritual, tradisi, kebiasaan, penghargaan, hukuman Anekdot, lelucon,
jargon, nama, nama sebutan, penjelasan, kisah, mitos, sejarah.
3) Budaya bervariasi dalam
organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi tindakan dalam budaya ini
juga beragam. Asumsi yang ketiga mengenai teori budaya organisasi berkaitan
dengan keberagaman budaya organisasi. Sederhana, budaya organisasi sangat
bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan aktivitas di dalam budaya-budaya ini
juga seberagam budaya itu sendiri.
B. Dimensi
Budaya Organisasi
Terdapat banyak dimensi yang membedakan budaya.
Dimensi ini mempengaruhi perilaku yang dapat mengakibatkan kekeliruan
pemahaman, ketidakepakatan, atau bahkan konflik. Konsep budaya pada awalnya
berasal dari lapangan antropologi dan mendapat tempat pada awal perkembangan
ilmu perilaku organisasi. Dimensi-dimensi yang digunakan untuk membedakan budaya
organisasi, menurut Robbins (1996) ada tujuh karakteristik primer yang secara
bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu: 1. Inovasi dan
pengambilan resiko. 2. Perhatian ke hal yang rinci. 3. Orientasi hasil. 4.
Orientasi Orang. 5. Orientasi Tim. 6. Keagresifan. 7. Kemantapan.
Luthan (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik yang
penting dari budaya organisasi, yang meliputi:
1.
Aturan-aturan perilaku Yaitu bahasa, terminologi, dan ritual yang biasa
dipergunakan oleh anggota organisasi.
2.
Norma Adalah standar perilaku yang menjadi petunjuk bagaimana melakukan
sesuatu. Lebih jauh di masyarakat kita kenal adanya norma agama, norma susila,
norma sosial, norma adat, dll.
3. Nilai-nilai
dominan Adalah nilai utama yang diharapkan dari organisasi untuk dikerjakan
oleh para anggota, misalnya tingginya kualitas produk, rendahnya tingkat
absensi, tingginya produktivitas dan efisiensi, serta tingginya disiplin kerja.
4.
Filosofi Adalah kebijakan yang dipercaya organisasi tentang hal-hal yang
disukai para karyawan dan pelanggannya, seperti “Kepuasan Anda adalah harapan
Kami”.
5.
Peraturan-peraturan Adalah aturan yang tegas dari organisasi. Pegawai baru
harus mempelajari peraturan ini agar keberadaannya dapat diterima dalam
organisasi.
6.
Iklim Organisasi Adalah keseluruhan “perasaan” yang meliputi hal-hal fisik,
bagaimana para anggota berinteraksi dan bagaimana para anggota organisasi
mengendalikan diri dalam berhubungan dengan pelanggan atau pihak luar
organisasi.
Hofsede (dalam Gibson, 1996) mengemukakan empat
dimensi budaya, yaitu:
1)
Penghindaran atas ketidakpastian Adalah tingkat dimana anggota masyarakat
merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini
mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara
lembagalembaga yang melindungi penyesuaian.
2)
Maskulin vs feminim Tingkat maskulinitas adalah kecenderungan dalam masyarakat
akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan materiil. Feminitas
berarti kecenderungan akan kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan
kualitas hidup.
3)
Individu vs kebersamaan Individualisme adalah kecenderungan dalam kerangka
sosial dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri sendiri dan keluarganya.
Kolektivisme berarti kecenderungan dimana individu dapat mengharapkan kerabat,
suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas
mutlak yang mereka berikan.
4)
Jarak kekuasaan Adalah ukuran dimana anggota suatu masyarakat menerima bahwa
kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata.
Selanjutnya budaya organisasi dapat ditemukan dalam
tiga tingkatan, yaitu:
1.
Artefak. Pada tingkat ini budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak
dapat diartikan, misalnya lingkungan fisik organisasi, teknologi, dan cara
berpakaian. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena mudah diperoleh tetapi
sulit ditafsirkan.
2.
Nilai Nilai memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artefak.
Nilai ini sulit diamati secara langsung sehingga untuk menyimpulkannya seringkali
diperlukan wawancara dengan anggota organisasi yang mempunyai posisi kunci atau
dengan menganalisis kandungan artefak seperti dokumen.
3. Asumsi dasar Merupakan bagian penting
dari budaya organisasi. Pada tingkat ini budaya diterima begitu saja, tidak
kasat mata dan tidak disadari. Asumsi ini merupakan reaksi yang bermula dari
nilai-nilai yang didukung. Bila asumsi telah diterima maka kesadaran akan
menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai artefak
terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan dan diterima apa
adanya atau tidak.
Tahap-tahap pembentukan atau pembangunan budaya
organisasi dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Seorang (biasanya pendiri) datang
dengan ide atau gagasan tentang sebuah usaha baru.
2. Pendiri membawa orang-orang kunci yang
merupakan para pemikir, dan menciptakan kelompok inti yang mempunyai visi yang
sama dengan pendiri.
3. Kelompok inti memulai serangkaian
tindakan untuk menciptakan organisasi, mengumpulkan dana, menentukan jenis dan
tempat usaha dan lain-lain yang relevan.
4.
Orang-orang lain dibawa ke dalam organisasi untuk berkarya bersamasama dengan
pendiri dan kelompok inti, memulai sebuah sejarah bersama.
Pembinaan budaya perusahaan dapat dilakukan dengan
serangkaian langkah sosialisasi sebagai berikut:
1)
Seleksi pegawai yang objektif.
2)
Penempatan orang dalam pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, “the
right man on the right place at the right time”.
3)
Perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman.
4)
Pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai.
5) Penghayatan akan nilai-nilai kerja
atau hal lain yang penting.
6)
Ceritera-ceritera dan faktor-faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan
kebanggan.
7) Pengakuan dan promosi bagi karyawan
yang berprestasi.
C. Cara
Karyawan Mempelajari Budaya Perusahaan
Proses
transformasi budaya oleh karyawan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Ceritera-ceritera
Ceritera-ceritera mengenai bagaimana kerasnya
perjuangan pendiri organisasi di dalam memulai usaha sehingga kemudian menjadi
maju seperti sekarang merupakan hal yang baik untuk disebarluaskan. Bagaimana
sejarah pasang-surut perusahaan dan bagaimana perusahaan mengatasi kemelut
dalam situasi tak menentu merupakan kisah yang dapat menodorong dan memotivasi
karyawan untuk bekerja keras jika mereka mau memahaminya.
2. Ritual
/ Upacara-upacara
Semua masyarakat memiliki corak ritual
sendiri-sendiri. Di dalam perusahaan, tidak jarang ditemui acara-acara ritual
yang sudah mengakar dan menjadi bagian hidup perusahaan. Sehingga tetap
dipelihara keberadaannya, contohnya adalah selamatan mulai musim giling di
pabrik gula.
3. Simbol-simbol
Material
Simbol-simbol atau lambang-lambang material seperti pakaian seragam, ruang
kantor dan lain-lain, atribut fisik yang dapat diamati merupakan unsur penting
budaya organisasi yang harus diperhatikan sebab dengan simbol-simbol itulah
dapat dengan cepat diidentifikasi bagaimana nilai, keyakinan, norma, dan
berbagai hal lain itu menjadi milik bersama dan dipatuhi anggota organisasi.
4. Bahasa
Bahasa merupakan salah satu media terpenting di dalam
mentransformasikan nilai. Dalam suatu organisasi atau perusahaan, tiap bidang,
divisi, strata atau semacamnya memiliki bahasa atau jargon yang khas, yang
kadang-kadang hanya dipahami oleh kalangan itu sendiri. Hal ini penting karena
untuk dapat diterima di suatu lingkungan dan menjadi bagian dari lingkungan,
salah satu syaratnya adalah memahami bahasa yang berlaku di lingkungan itu.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahasa merupakan unsur penting dalam budaya
perusahaan.
D. Cara
Merubah Budaya Organisasi
Merubah budaya organisasi luar biasa sulitnya, tetapi
budaya-budaya itu dapat diubah. Misalnya, Lee Iacocca masuk Chrysler Corp.
Dalam tahun 1978, ketika perusahaan itu tampak tertinggal beberapa pekan lagi
akan bangkrut. Diperlukan waktu lima tahun tetapi ia menerima budaya Chrysler
yang konservatif, melihat ke dalam, dan berorientasi rekayasa dan mengubahnya
menjadi budaya yang berorientasi tindakan, tanggap pasar.
Bukti mengemukakan bahwa perubahan budaya paling
mungkin terjadi bila kebanyakan atau semua kondisi berikut ini ada:
Suatu krisis dramatis. Inilah
kejutan yang menghancurkan status quo dan mengemukakan pertanyaan mengenai
relevansi budaya yang ada. Contoh dari krisis ini mungkin berupa suatu
kemunduran finansial yang mengejutkan, hilangnya pelanggan utama, atau
terobosan teknologis yang dramatis oleh pesaing. Para eksekutif pada Pepsi-Cola
dan Ameritech bahkan mengakui menciptakan krisis agar merangsang perubahan
budaya dalam organisasi mereka. Misalnya saja, baru ketika eksekutif dari
General Motors dan AT&T mampu dengan sukses menyampaikan kepada para
karyawan krisis-krisis yang ditimbulkan oleh pesaing maka membuat budaya
organisasi itu mulai menunjukkan tanda-tenda perubahan untuk menyesuaikan.
Pergantian kepemimpinan.
Kepemimpinan puncak yang baru, yang dapat memberikan suatu perangkat alternatif
dari nilai-nilai kunci, dapat dipersepsikan sebagai lebih mampu dalam
menanggapi krisis itu. Yang pasti disini adalah eksekutif kepala dari
organisasi itu tetapi itu juga mungkin perlu mencakup semua posisi manajemen
senior. Mempekerjakan dirut dari luar pada IBM (Louis Gerstner) dan General
Motor (Jack Smith) melukiskan upaya untuk memperkenalkan kepemimpinan baru.
Organisasi yang muda dan kecil.
Makin muda organisasi itu, akan makin kurang berakar budayanya. Sama halnya,
lebih mudah bagi manajemen untuk mengkomunikasikan nilai-nilainya yang baru
bila organisasi itu kecil. Sekali lagi ini membantu menjelaskan kesulitan yang
dihadapi korporasi multimiliar-dolar dalam mengubah budayanya.
Budaya lemah. Makin
luas suatu budaya dianut dan makin tinggi kesepakatan di kalangan anggota
mengenai nilai-nilainya, akan makin sulit mengubah budaya itu. Sebaliknya,
budaya lemah lebih mudah menerima perubahan dari pada budaya yang kuat.
Jika kondisi-kondisi mendukung perubahan budaya,
hendaknya anda mempertimbangkan saran-saran berikut:
1. Buatlah orang-orang manajemen puncak
menjadi model peran yang positif, dengan menentukan nada lewat perilaku mereka.
2.
Ciptakan cerita, lambang, dan ritual baru untuk menggantikan yang dewasa ini
berlaku.
3.
Pilih, promosikan, dan topang karyawan yang mendukung nilai-nilai baru yang
dicari.
4.
Rancang ulang proses sosialisasi untuk digandeng dengan nilai-nilai baru itu.
5.
Ubahlah sistem imbalan untuk mendorong penerimaan atas seperangkat nilai yang
baru
6.
Gantilah norma-norma tidak tertulis dengan aturan dan pengaturan formal yang
dijalankan dengan ketat
7.
Guncanglah anak-budaya yang berlaku lewat transfer, perputaran pekerjaan,
dan/atau pemutusan hubungan kerja.
8. Berusahalah
untuk memperoleh konsensus kelompok dari rekan sekerja lewat pemanfaatan
partisipasi karyawan dan menciptakan suatu iklim dengan tingkat kepercayaan
yang tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar